Rembulan malam menggantung rendah di atas danau yang berkilauan, persis seperti permata ibuku. Permata yang kini menghiasi peti matinya. Dulu, aku dan Lian sering mencuri pandang ke danau ini, bermimpi tentang dunia yang lebih luas dari desa kita yang terpencil. Dulu, Lian adalah duniaku. Saudara angkatku, sahabatku, sekutuku.
"Lian," bisikku, suara serak tertelan angin malam. Kami berdiri di depan cermin besar yang dipajang di aula utama kediaman keluarga Zhang. Cermin antik yang konon mampu menangkap jiwa. "Kau ingat janji kita di bawah pohon sakura? Saling menjaga, apapun yang terjadi?"
Lian tersenyum. Senyum yang dulu selalu membuat hatiku menghangat, kini terasa dingin seperti bilah pisau. "Tentu saja, Xiao Yun. Bagaimana mungkin aku lupa? Bukankah kau yang selalu mengingatkanku?" Matanya berkilat-kilat, menyimpan sesuatu yang tak bisa kupahami.
Kami dibesarkan bersama, yatim piatu yang diadopsi oleh Keluarga Zhang yang kaya raya. Lian, yang gesit dan cerdas, selalu menjadi favorit semua orang. Aku, yang pendiam dan lebih suka menyendiri, selalu berada di bawah bayang-bayangnya. Tapi aku tidak pernah iri. Aku mencintainya. Bahkan lebih dari yang seharusnya.
Misteri mulai menyelimuti kediaman Zhang saat ibuku, Nyonya Zhang yang terhormat, ditemukan tewas. Dibunuh dengan keji. Lian bersumpah akan menemukan pelakunya. Aku pun ikut bertekad, meskipun hatiku hancur berkeping-keping.
"Xiao Yun, aku menemukan petunjuk," kata Lian suatu malam, suaranya berbisik. Ia menunjukkan kepadaku sebuah lencana giok yang patah, lambang rahasia Keluarga Huang. "Keluarga Huang adalah musuh bebuyutan Keluarga Zhang. Mereka pasti dalang di balik ini."
Aku percaya padanya. Selalu.
Namun, seiring berjalannya waktu, keraguan mulai merayap di hatiku. Setiap petunjuk yang ditemukan Lian terasa terlalu sempurna, terlalu mudah ditemukan. Aku mulai menyelidiki sendiri.
Aku menemukan surat cinta tersembunyi, ditulis oleh ibuku. Bukan untuk ayahku, tapi untuk... Huang Tai, kepala Keluarga Huang.
Dunia terasa runtuh di sekelilingku.
Lian melihatku membaca surat itu. Senyumnya yang dingin mengembang. "Kau sudah tahu, rupanya," bisiknya. "Ibumu... ia adalah wanita yang MENGECEWAKAN."
"Kau... KAU TAHU?" Aku menggertakkan gigi. "Kau tahu dan kau menyembunyikannya dariku? Kenapa, Lian? KENAPA?!"
"Karena aku... aku adalah anak Huang Tai," jawabnya, matanya berkilat liar. "Aku dikirim ke Keluarga Zhang untuk membalas dendam atas penghinaan yang dilakukan ayahku."
Air mata mengalir di pipiku. "Jadi, selama ini... semua ini... adalah kebohongan?"
Lian mengangguk. "Keluarga Zhang merebut tanah dan kekayaan ayahku. Ibumu... ia adalah bagian dari rencana itu. Ia menjalin hubungan dengan ayahku, lalu mengkhianatinya demi Keluarga Zhang. Ia pantas mati."
Kemarahan membara di dalam diriku. Semua cinta, semua kepercayaan, semua yang kami bagi bersama, hancur berkeping-keping. "Kau... kau telah mengkhianatiku, Lian."
"Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan," jawabnya, tanpa sedikit pun penyesalan. "Sekarang, giliranku untuk membalas dendam pada Keluarga Zhang. Dan kau... kau adalah satu-satunya yang menghalangi jalanku."
Kami bertarung. Pertarungan sengit yang dipenuhi amarah dan pengkhianatan. Pedang kami beradu, menciptakan kilatan api yang menyilaukan. Aku tahu, aku tidak sekuat Lian. Tapi aku memiliki satu hal yang tidak ia miliki: KEBENARAN.
Dengan sekuat tenaga, aku menusuk pedangku ke jantungnya. Lian terhuyung mundur, darah membasahi dadanya.
"Kenapa, Xiao Yun?" bisiknya, matanya memohon. "Kenapa kau melakukan ini?"
Aku menatapnya, air mata terus mengalir di pipiku. "Karena kebenaran yang kau sembunyikan lebih kejam dari kematian."
Lian tersenyum pahit. "Kau... kau akan menyesalinya, Xiao Yun. Kau akan menyesalinya..."
Dengan sisa tenaga yang ada, ia mendorongku ke arah cermin besar di belakangku. Aku kehilangan keseimbangan dan menabraknya. Cermin itu retak, memantulkan bayangan kami berdua yang terluka.
Lian menghembuskan napas terakhirnya.
Aku berdiri di sana, menatap bayangan di cermin. Bayanganku dan bayangannya. Dulu, kami adalah satu. Sekarang, kami adalah musuh.
Aku telah membunuh saudaraku, sahabatku, sekutuku. Aku telah membalas dendam atas kematian ibuku. Tapi kemenangan ini terasa pahit dan hampa.
Aku menatap pantulan diriku di cermin yang retak, dan hanya melihat bayanganmu... Semoga neraka mengampuni kita berdua.
You Might Also Like: 14 Discover Your Ancestral Path Premier
Post a Comment