Aku Menulis Puisi Untukmu, Tapi Tak Berani Menyebut Nama

Aku Menulis Puisi Untukmu, Tapi Tak Berani Menyebut Nama

Hujan gerimis membasahi kaca jendela. Aroma teh melati yang kubuat sendiri tak mampu menghangatkan hatiku yang membeku. Di meja kayu tua ini, tergeletak tumpukan kertas berisi puisi. Semuanya tentang kamu.

Aku menulis tentang SENYUMmu, yang dulu kurasa adalah mentari bagiku, kini kusadari hanyalah topeng belaka. Aku menulis tentang PELUKANmu, yang dulu adalah rumahku, kini terasa seperti lilitan ular yang mengandung racun. Aku menulis tentang JANJImu, yang dulu kupercaya setulus embun pagi, kini berubah menjadi belati yang menghunus jantungku.

Kau ingat taman bunga di tepi danau? Di sanalah kita pertama kali bertemu. Di sanalah kau mengucapkan janji abadi. Di sanalah pula, kulihat kau menggenggam tangan wanita lain, tatapanmu sama persis seperti saat kau menatapku dulu.

Pengkhianatan. Kata itu bergema di benakku, bagai petir yang menyambar di siang bolong.

Namun, aku TIDAK berteriak. Aku TIDAK menangis histeris. Aku TIDAK memohon. Aku hanya tersenyum tipis, mengangguk sopan, dan berbalik pergi. Elegansi adalah tamengku. Ketenangan adalah senjataku.

Hari-hari berlalu. Aku fokus pada karierku, menapaki tangga kesuksesan dengan tekad membara. Aku melupakanmu? Tidak. Aku hanya mengubah rasa sakit menjadi MOTIVASI.

Suatu malam, di acara lelang amal bergengsi, mata kita bertemu kembali. Kau terkejut melihatku berdiri di atas panggung, sebagai donatur terbesar malam itu. Kau mencoba menghampiriku, tapi aku menahannya dengan tatapan dingin.

"Selamat, Li Wei," ucapku dengan nada datar, namun setiap suku kata terasa seperti jarum yang menusuk. "Aku mendengar kabar bahwa perusahaanmu sedang mengalami kesulitan keuangan. Sayang sekali, ya?"

Kau menelan ludah. Matamu memancarkan kekhawatiran.

"Kebetulan sekali, aku tertarik untuk membeli saham perusahaanmu. Tentu saja, dengan harga yang SANGAT menarik." Aku tersenyum manis, namun senyum itu tak mencapai mataku.

Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku mengambil alih perusahaanmu. Aku menempatkanmu di posisi RENDAH, di mana kau harus melapor padaku setiap hari. Aku tidak menyakitimu secara fisik. Aku tidak meneriaki atau menghinamu. Aku hanya memastikan kau merasakan setiap detik penyesalan.

BALAS DENDAMKU bukanlah darah, melainkan penyesalan abadi yang akan menghantuimu seumur hidupmu.

Kau kehilangan segalanya karena KESOMBONGANmu. Kau menyia-nyiakan cinta tulusku karena KEBODOHANmu. Sekarang, kau harus hidup dengan kenyataan bahwa aku, wanita yang kau khianati, adalah orang yang menghancurkanmu.

Aku menutup buku puisi itu. Hujan di luar semakin deras.

Cinta dan dendam lahir dari tempat yang sama... tapi yang mana yang lebih kuat, hanya WAKTU yang bisa menjawabnya.

You Might Also Like: Cerita Seru Ia Membaca Chat Lama Tapi

OlderNewest

Post a Comment