Drama Seru: Aku Menatap Pedang Di Tanganku, Tapi Yang Kulihat Hanya Matamu.

Malam Tanpa Akhir di Lembah Serigala

Salju menari-nari gila di Lembah Serigala, setiap kepingan membawa serta dendam yang membeku. Udara tipis menusuk tulang, namun hawa dingin itu tak sebanding dengan es yang mencengkeram hatiku. Di tangan kananku, Hanbing, pedang warisan keluarga, berkilauan redup tertimpa cahaya obor. Tapi, setiap kali aku menatap bilahnya yang tajam, bayangan yang muncul bukanlah musuh, melainkan... DIRIMU.

Li Wei, wajahmu terukir di setiap sudut pikiranku, seperti tato abadi yang tak bisa dihapus. Mata setajam elangmu, senyum sinismu yang membuat darah mendidih, dan suara baritonmu yang dulu membuatku berdebar, kini hanya membangkitkan kemarahan yang membakar. Dulu, kau adalah matahari di kehidupanku yang kelam. Sekarang, kau adalah jurang tak berdasar yang siap menelanku.

Asap dupa Cendana Naga mengepul di kuil usang tempat kita bertemu, tempat kita bersumpah setia di bawah rembulan perak. Air mata membeku di pipiku, bercampur dengan aroma pahit masa lalu. Kita saling mencintai, sekuat akar pohon purba yang menembus bumi. Namun, cinta itu ternodai oleh kebohongan. Kebohongan yang kau sembunyikan rapat-rapat di balik senyum manismu.

"Kau tahu, bukan, mengapa aku memanggilmu ke sini, Li Wei?" Suaraku bergetar, namun penuh tekad. Di sekelilingku, puluhan prajurit bayangan keluarga Li berjaga-jaga. Mereka adalah saksi bisu pengkhianatanmu.

Li Wei, dengan jubah bulu serigala yang menutupi sebagian wajahnya, menyeringai. "Sudah kuduga. Rahasia itu akhirnya tercium juga. Kau pasti sangat marah, bukan, Putri Mei?"

Rahasia itu... Rahasia tentang siapa yang membunuh ayahku. Rahasia tentang mengapa keluarga Li tega menghancurkan kedamaian desa kami. Rahasia tentang identitasmu yang sebenarnya – anak haram panglima perang yang haus darah.

Kisah cinta kita, ternyata, hanyalah sandiwara belaka. Kau mendekatiku untuk mengorek informasi, untuk memata-matai keluargaku. Setiap sentuhanmu, setiap bisikan cintamu, hanyalah racun yang perlahan-lahan membunuhku dari dalam.

"Darah ayahku... teriakannya di malam itu... menghantuiku setiap malam!" Aku mencabut Hanbing, cahayanya menari liar. "Kau pantas mati, Li Wei! Kau pantas merasakan sakit yang kurasakan!"

Pertarungan pun pecah. Pedang beradu, darah memercik di atas salju putih. Setiap gerakan adalah dendam, setiap tebasan adalah air mata. Li Wei melawan dengan ganas, namun matanya menunjukkan penyesalan. Atau mungkin itu hanya ilusi, sandiwara terakhir sebelum kematian menjemputnya.

Saat Hanbing menembus jantungnya, Li Wei tersenyum. Senyum yang dulu sangat aku cintai. Ia berbisik, "Maafkan aku, Mei... Aku..."

Kata-katanya terputus. Li Wei tersungkur di atas salju, matanya menatap kosong ke langit malam. Dendamku terbalaskan. Hati yang terluka kini terpuaskan.

Tapi, kebahagiaan itu kosong.

Aku berlutut di samping mayatnya, air mata kembali mengalir. Aku membakar jubah serigala Li Wei, abu mengepul ke langit. Di atas abu itu, aku berjanji. Janji bahwa aku akan membalas semua perbuatan keluarga Li. Janji bahwa aku akan menghancurkan mereka sampai ke akarnya.

Balas dendam ini bukan akhir. Ini hanyalah... AWAL dari mimpi buruk yang sesungguhnya.

Aku bangkit, melangkah meninggalkan Lembah Serigala yang bersimbah darah. Di belakangku, kematian menari dalam sunyi.

Dan saat aku menoleh, aku melihat sebuah senyuman samar di bibir beku Li Wei. Senyuman yang mengatakan bahwa ia menang. Aku tahu, jauh di lubuk hatiku, bahwa aku telah membuat kesalahan yang mengerikan. Bahwa balas dendam ini akan menelan lebih banyak jiwa lagi.

Karena di balik kematian Li Wei, tersembunyi rahasia yang lebih mengerikan: Aku mengandung anaknya."

You Might Also Like: 7 Fakta Arti Mimpi Melihat Burung Nuri

Post a Comment