Pelukan yang Menjadi Doa Terakhir
Hujan kota mengguyur Jakarta. Rintiknya menari di kaca jendela, serupa air mata yang enggan jatuh sempurna. Di balik jendela, Anya menyesap kopi pahitnya, aroma pahit yang sama dengan kenangan tentang Leo.
Leo, yang hadir pertama kali lewat notifikasi LINE. Avatar kucing hitamnya yang lucu, pesannya yang singkat tapi selalu membuat Anya tersenyum. Pertemuan pertama di kedai kopi indie, obrolan panjang tentang film Wong Kar-Wai, dan tawa yang bergema di antara latte art berbentuk hati.
Cinta mereka tumbuh di antara swipe kanan dan kiri, di antara emoji dan gif yang menggantikan kata-kata. Mereka berbagi mimpi, ketakutan, dan remah-remah kehidupan lewat aplikasi chat. Anya selalu ingat bagaimana Leo akan mengiriminya pesan setiap pagi, "Selamat pagi, Matahari. Semoga harimu secerah senyummu."
Namun, seperti cuaca Jakarta, hubungan mereka pun berubah-ubah. Awalnya cerah, lalu mendung, dan akhirnya badai. Leo mulai menjauh. Balasan pesannya semakin singkat. Panggilan teleponnya semakin jarang. Alasannya selalu sama: pekerjaan.
Anya tahu, ada sesuatu yang disembunyikan Leo. Perasaannya mengatakan ada jurang yang semakin dalam memisahkan mereka. Ia mencoba bertanya, mencoba mencari tahu, namun Leo selalu mengelak. Seperti seniman ilusionis, Leo pandai menyembunyikan kebenaran.
Satu malam, di tengah hujan yang lebih deras dari biasanya, Leo mengiriminya pesan terakhir: "Aku... aku harus pergi." Tanpa penjelasan lebih lanjut, tanpa alasan yang masuk akal. Anya mencoba menelepon, tapi nihil. WhatsApp Leo menunjukkan tanda centang satu. Hilang.
Anya terpuruk. Ia tenggelam dalam lautan air mata dan screenshot pesan-pesan lama. Aroma parfum Leo masih tercium di sweater yang sering dipinjamkannya. Setiap notifikasi ponsel membuatnya berharap, tapi yang muncul hanya tagihan e-commerce dan pesan spam.
Berbulan-bulan berlalu. Anya mencoba melanjutkan hidup, tapi bayangan Leo selalu menghantuinya. Ia menemukan folder rahasia di ponsel Leo, berisi foto-foto seorang wanita lain. Seorang wanita dengan senyum yang serupa dengan senyumnya, tapi lebih tulus.
Hati Anya hancur berkeping-keping. Kebohongan Leo seperti pisau yang menusuk jantungnya. Ia marah, kecewa, dan merasa dikhianati. Ia ingin berteriak, ingin memaki, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Lalu, ia menemukan surat di antara buku-buku Leo. Surat yang ditulis tangan, dengan tinta biru yang pudar. Surat itu menjelaskan semuanya. Leo mengidap penyakit yang tak bisa disembuhkan. Ia memilih pergi agar Anya tak melihatnya menderita. Ia memilih mengorbankan cintanya demi kebahagiaan Anya.
Air mata Anya kembali menetes, tapi kali ini bukan karena sakit hati, melainkan karena penyesalan. Ia menyesal karena tak pernah benar-benar memahami Leo. Ia menyesal karena terlalu sibuk dengan perasaannya sendiri.
Anya memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ia menghapus semua foto Leo di ponselnya, membuang sweater yang beraroma parfumnya, dan memblokir nomornya. Ia ingin melupakan Leo, bukan karena benci, tapi karena ia ingin mengenang Leo sebagai sosok yang utuh, sosok yang dicintainya.
Beberapa tahun kemudian, Anya berdiri di depan sebuah galeri seni. Lukisan-lukisan di sana menggambarkan kota Jakarta di bawah hujan. Di salah satu lukisan, ia melihat potret dirinya sedang memegang cangkir kopi. Di bawah lukisan itu tertulis: "Untuk Anya, Pelukanku yang Menjadi Doa Terakhir."
Anya tersenyum tipis. Ia tahu, itu adalah karya Leo, karya yang ia buat sebelum pergi. Ia memejamkan mata, membayangkan Leo memeluknya erat. Pelukan yang menjadi doa terakhir, doa untuk kebahagiaannya.
Anya membuka matanya dan melihat seorang pria berdiri di sampingnya. Pria itu tersenyum padanya, senyum yang mengingatkannya pada Leo. Pria itu mengulurkan tangannya dan berkata, "Hai, aku... teman Leo."
Anya membalas uluran tangannya. Ia tahu, hidup akan membawanya ke mana pun. Ia tahu, kenangan tentang Leo akan selalu ada di hatinya. Tapi, ia juga tahu, ia harus melanjutkan hidup.
Anya menatap lukisan itu sekali lagi. Lalu, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan galeri seni itu dengan senyum misterius di bibirnya.
Dan di dalam hatinya, ia menyimpan satu pesan terakhir yang tak pernah terkirim: " Terima kasih, Leo. Semoga kamu bahagia di sana. "
Dunia tetap berputar, matahari terbit dan tenggelam, dan Anya... akan selalu mengingatnya, meskipun dengan cara yang berbeda.
You Might Also Like: 5 Rahasia Interpretasi Mimpi Memelihara_24
Post a Comment