Aku Mencintaimu di Atas Abu Istana, Karena Cinta Tak Mengenal Kehancuran
Lorong Istana Timur itu senyap, hanya desah angin yang menyelinap di antara pilar-pilar merah, membawa aroma lembab dan kenangan yang membusuk. Di kejauhan, kabut pegunungan menggantung rendah, menutupi jalan setapak menuju Biara Seribu Bunga, tempat legenda mengatakan jiwa-jiwa yang tersesat beristirahat. Di sanalah, sepuluh tahun lalu, Putri Ning Yue dikabarkan tewas, terjatuh ke dalam jurang saat melarikan diri dari pemberontakan.
Namun, malam ini, bayangan ramping menyelinap di lorong itu, jubah hitamnya menyapu lantai marmer yang dingin. Dia berhenti di depan pintu yang diukir dengan naga emas, simbol kekuasaan Kaisar. Dia mengetuk pelan, tiga kali, sebuah kode yang hanya diketahui oleh segelintir orang.
"Siapa di sana?" suara Kaisar, dingin dan penuh curiga, bergema dari balik pintu.
"Seorang teman lama, Yang Mulia," jawab suara lembut, namun terdengar terlalu familiar. "Atau mungkin, seorang hantu."
Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Kaisar yang tampak jauh lebih tua dan kurus dari yang diingat. Matanya menyipit, mencoba mengenali sosok di balik kerudung.
"Ning Yue...?" bisiknya, suaranya bergetar.
Wanita itu membuka kerudungnya. Wajahnya masih cantik, meski ada goresan bekas luka samar di pipinya. Mata almondnya, dulu penuh tawa, kini menyimpan lautan kesedihan dan... kemenangan.
"Sudah lama, Kakak," sapanya dengan senyum tipis. "Kau merindukanku?"
Kaisar mundur selangkah, terhuyung. "Bagaimana mungkin? Aku... aku melihatmu jatuh. Aku memerintahkan pencarian, tapi jasadmu tidak pernah ditemukan!"
"Jasad Putri Ning Yue memang tidak pernah ditemukan," wanita itu mengoreksi dengan nada tenang. "Karena Putri Ning Yue tidak pernah mati."
Dia melangkah masuk, aroma dupa dan lilin malam menari di sekelilingnya. Dia menatap lukisan dirinya yang tergantung di dinding, sosoknya yang dulu muda dan riang.
"Semua ini... semua pemberontakan, jatuhnya Wangsa Li, semua itu... kau yang mengaturnya?" Kaisar bertanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Ning Yue mengangguk. "Kau pikir aku akan membiarkanmu menikahi Yun Lan, pelacur rendahan itu? Setelah apa yang kau lakukan pada ayahku? Aku bersumpah akan membalas dendam, dan aku akan melakukannya, meski harus membakar seluruh istana sampai menjadi abu."
Dia mendekat, menyentuh pipi Kaisar dengan ujung jarinya. "Aku mencintaimu, Kakak. Tapi cintaku lebih dalam dari sekadar perasaan. Itu adalah cinta akan kekuasaan, cinta akan kendali. Dan aku akan memastikan kau merasakan sakitnya kehilangan segalanya."
Kaisar menatapnya dengan tatapan kosong. Dia mengerti sekarang. Selama ini, dia hanyalah bidak dalam permainannya.
"Kenapa?" bisiknya putus asa.
Ning Yue tersenyum, senyum yang dingin dan mematikan. "Karena kaulah yang memulai permainan ini, Kakak. Dan aku, selalu, bermain untuk menang."
Dia menatapnya sekali lagi, lalu berbalik dan berjalan pergi, menghilang ke dalam lorong istana yang gelap. Kaisar tetap berdiri di sana, membeku di tempat, mendengar langkah kakinya bergema semakin menjauh.
Kemudian, dia mendengar suara pintu ditutup dengan keras, meninggalkan dirinya seorang diri dalam kegelapan, dengan kebenaran yang mengerikan dan tak terelakkan.
Dia mengerti sekarang.
Cintanya, seperti abu istana, ternyata adalah fondasi bangunan baru yang lebih gelap.
You Might Also Like: Cerpen Terbaru Aku Mengingatnya Lewat
Post a Comment