Drama Abiss! Ia Membiarkan Aku Di Draft, Karena Tak Siap Kehilangan

Ia Membiarkan Aku Di Draft, Karena Tak Siap Kehilangan

Hujan turun di atas makam. Bukan gerimis manja, tapi curahan air mata langit yang tak henti-hentinya. Setiap tetesnya seperti denting piano yang memainkan melodi kesedihan, melodi yang ABADI. Bayanganku berdiri di sana, menolak pergi, sama keras kepalanya dengan akar pohon tua yang mencengkeram tanah. Aku, Li Wei, yang seharusnya sudah tenang di alam sana, justru bergentayangan di sini.

Dulu, aku hanya seorang penulis. Kata-kata adalah senjataku, cintaku, dan juga penjara kurungan sunyiku. Aku mencintai Lin Mei, teman seperjuanganku, partner dalam dunia fiksi yang lebih nyata dari dunia nyata itu sendiri. Kami menulis bersama, tertawa bersama, dan berbagi mimpi yang sama. Tapi, ada satu kebenaran yang tak pernah kuungkapkan: cintaku padanya. Aku membiarkannya tersimpan di draft, di antara barisan kata yang belum sempurna, karena aku... takut. Takut ditolak, takut kehilangan persahabatan ini, takut merusak harmoni yang sudah tercipta.

Lalu, kecelakaan itu datang. Seperti badai yang menyapu ladang gandum, ia merenggut nyawaku dalam sekejap. Tak ada kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal, tak ada kesempatan untuk mengaku. Semua terhenti begitu saja, meninggalkan luka menganga di hati Lin Mei dan beban tak tertahankan di pundak arwahku.

Sekarang, aku kembali. Bukan untuk balas dendam, bukan untuk menakut-nakuti. Aku kembali untuk mencari sesuatu yang hilang, sesuatu yang tertinggal di antara halaman-halaman cerita yang belum selesai. Aku melihat Lin Mei duduk di depan laptop, matanya merah dan bengkak, jemarinya gemetar mengetik. Ia mencoba melanjutkan ceritaku, cerita kami, tapi hasilnya selalu nihil. Setiap kalimat yang ia tulis terasa hambar, tak bernyawa, seperti bunga plastik di atas pusaraku.

Aku mendekat, mencoba menyentuhnya. Tentu saja, gagal. Tanganku hanya menembus tubuhnya, meninggalkan sensasi dingin yang menusuk tulang. Aku ingin berteriak, mengatakan bahwa aku di sini, bahwa aku bersamanya. Tapi, suaraku hanya gema bisu di antara dinding-dinding kesunyian.

Hari demi hari, aku mengawasinya. Aku melihatnya merawat kenangan tentangku, menyimpannya dalam bingkai foto, dalam catatan-catatan kecil yang bertebaran di mejanya, dalam setiap tetes air mata yang jatuh di atas keyboard. Aku melihatnya berjuang untuk melepaskan, tapi hatinya terlalu berat untuk sekadar terbang.

Akhirnya, aku menemukan apa yang ku cari. Bukan pengakuan cinta, bukan permintaan maaf, bukan juga pembalasan dendam. Aku mencari KEDAMAIAN. Aku ingin Lin Mei tahu bahwa aku baik-baik saja, bahwa aku tidak menyalahkannya, bahwa aku akan selalu menyayanginya. Aku ingin ia melepaskan beban ini, agar ia bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang.

Suatu malam, saat hujan kembali turun dengan derasnya, aku berdiri di belakang Lin Mei. Ia sedang membaca salah satu ceritaku yang lama, cerita tentang seorang pangeran yang rela berkorban demi cintanya. Air matanya menetes di atas halaman, membasahi tinta yang sudah kering. Tiba-tiba, ia berhenti membaca. Ia menoleh ke belakang, seolah merasakan kehadiranku.

"Li Wei?" bisiknya, suaranya bergetar.

Aku tersenyum, meskipun ia tak bisa melihatnya. Aku mengangkat tangan, mencoba menyentuh pipinya. Dan kali ini, sedikit, hanya sedikit saja, ia bisa merasakan sentuhan dingin itu. Ia memejamkan matanya, seolah menikmati momen singkat itu.

Aku tahu, inilah saatnya. Aku harus pergi. Aku harus membiarkannya melanjutkan hidupnya. Aku berbalik, berjalan menjauh dari makam, meninggalkan bayangan yang akhirnya memilih untuk menghilang.

Di kejauhan, aku mendengar ia berbisik, "Selamat tinggal…"

Arwah itu baru saja tersenyum untuk terakhir kalinya…

You Might Also Like: Jualan Skincare Peluang Usaha Ibu Rumah

Post a Comment