Janji yang Kumasak Dalam Api Dendam
Kabut menggantung tebal di puncak Gunung Yulong, menelan bulan sabit yang pucat. Angin menderu pilu, seolah membisikkan rahasia yang seharusnya terkubur dalam ingatan. Di tengah sunyinya lorong istana yang dingin, seorang wanita berjalan dengan anggun. Gaun sutra merahnya menyapu lantai marmer, meninggalkan jejak bisu di belakangnya. Wajahnya, tersembunyi di balik cadar tipis, menyiratkan misteri yang lebih dalam dari lautan.
Dialah Mei Lan, putri kekaisaran yang dinyatakan tewas sepuluh tahun lalu dalam pemberontakan berdarah. Namun, ia berdiri di sini, di jantung istana yang dulu menjadi saksi bisu pengkhianatan.
Di ujung lorong, sosok pria menunggu. Kaisar Li Wei, kakaknya, yang kini berkuasa di atas takhta yang ternoda darah.
"Mei Lan?" Kaisar Li Wei bertanya dengan suara serak, kerutan dalam terpahat di wajahnya. Matanya memancarkan keterkejutan yang bercampur dengan kerinduan. "Apa… apa benar itu kau?"
Mei Lan mengangkat cadarnya. Wajahnya, yang dulu penuh senyum, kini dihiasi aura dingin yang menusuk tulang.
"Kakakku," sapanya dengan suara selembut sutra, namun setajam belati. "Apakah kau merindukanku?"
Kaisar Li Wei terdiam. Bertahun-tahun rasa bersalah menghantuinya. Ia percaya Mei Lan tewas karena melindunginya.
"Mei Lan, aku… aku selalu menyesal. Aku gagal melindungimu."
Mei Lan tertawa pelan, tawa tanpa kehangatan. "Melindungiku? Kakak, kau selalu percaya bahwa aku adalah korban. Bahwa aku lemah dan tak berdaya." Ia melangkah mendekat, menatap Kaisar Li Wei dengan tatapan tajam. "Tapi kau salah. Aku adalah arsitek dari semua ini."
Kaisar Li Wei mundur selangkah, kebingungan merayapi wajahnya. "Apa maksudmu?"
Mei Lan mengeluarkan sebuah jepit rambut emas dari balik rambutnya. Jepit rambut itu berukirkan naga dan burung phoenix yang saling berpilin, simbol kekuasaan dan pengkhianatan.
"Pemberontakan itu, Kakak. Kau pikir aku tidak tahu siapa dalangnya? Kau pikir aku tidak melihatmu berbisik-bisik dengan Jenderal Zhao di balik tirai istana?" Suara Mei Lan bergetar dengan emosi yang tertahan. "Aku tahu semuanya. Dan aku membiarkannya terjadi."
Kaisar Li Wei terpaku. Kebenaran yang selama ini ia sembunyikan, kini terpampang di depan matanya.
"Kenapa?" bisiknya lemah.
Mei Lan menyeringai. "Karena aku ingin melihatmu hancur. Aku ingin melihatmu merasakan sakitnya kehilangan, sakitnya pengkhianatan. Aku ingin melihatmu memerintah di atas takhta yang dibangun di atas darah orang-orang yang kau cintai."
Ia mendekat lagi, menusukkan jepit rambut itu ke jantung Kaisar Li Wei. Darah memuncrat, mewarnai gaun merahnya semakin pekat.
"Janji yang kumasak dalam api dendam akhirnya terpenuhi," bisik Mei Lan di telinga Kaisar Li Wei yang sekarat.
Di saat-saat terakhirnya, Kaisar Li Wei menatap Mei Lan dengan mata yang dipenuhi kengerian. Ia baru menyadari, selama ini ia hanyalah pion dalam permainan yang lebih besar.
Mei Lan mencabut jepit rambut itu, membiarkan tubuh Kaisar Li Wei tergeletak di lantai. Ia menatap mayat kakaknya dengan tatapan dingin.
"Kau pikir aku korban? Kau salah. Akulah dalang dari semua ini. Dan sekarang, takhtamu menjadi milikku."
Dan di balik kabut Gunung Yulong, bulan sabit tertawa bisu, menyaksikan sebuah kebenaran yang lebih kelam dari malam itu sendiri: bahwa terkadang, mereka yang kita kira lemah, adalah monster yang paling menakutkan.
You Might Also Like: Top Kau Menatapku Dengan Marah Tapi Aku
Post a Comment