Hujan. Deras membasahi nisan-nisan yang berbaris rapi, sunyi dan dingin. Butir-butirnya menari di atas batu, seolah membisikkan nama-nama yang telah tiada. Di antara barisan itu, bayangan berdiri. Bukan manusia, lebih tepatnya, sisa manusia. Arwah Lin, yang jiwanya tertinggal, terjebak di antara dunia yang fana dan abadi.
Dulu, Lin adalah seorang gadis yang ceria. Tawanya renyah seperti lonceng angin, senyumnya menghangatkan seperti mentari pagi. Namun, sebuah RAHASIA merenggut semua itu. Rahasia yang membawanya menuju kematian mendadak, meninggalkan tanya dan duka yang menganga.
Sekarang, Lin kembali. Bukan untuk membalas dendam, bukan untuk menuntut keadilan. Dendam hanyalah racun yang menggerogoti jiwa, dan keadilan, di dunia ini, seringkali buta. Ia kembali untuk kedamaian. Untuk menuntaskan benang kusut yang ditinggalkannya, sebelum jiwanya benar-benar terlepas.
Setiap malam, Lin menjelajahi lorong-lorong waktu. Menyaksikan kembali kejadian demi kejadian, seperti menonton film usang yang diputar berulang-ulang. Ia melihat keluarganya yang berduka, teman-temannya yang kehilangan, dan… seseorang. Seseorang yang memegang kunci rahasia itu.
Bayangan itu selalu ada, mengikuti orang tersebut kemanapun ia pergi. Mengamati setiap gerak-geriknya, mendengarkan setiap perkataannya. Ia mencoba berkomunikasi, menyentuh, memberi tahu. Namun, ia hanyalah arwah. Sentuhannya dingin, suaranya tak terdengar. Ia hanya bisa menyaksikan, tanpa bisa mengubah apa pun.
Hujan terus mengguyur. Semakin deras, semakin dingin. Makam-makam itu seolah bernapas, mengeluarkan uap putih tipis ke udara. Di tengah kabut itu, Lin melihat. Ia melihat kebenaran. Bukan kebenaran yang rumit atau mengerikan. Hanya kebenaran sederhana yang tersembunyi di balik kesalahpahaman dan keegoisan.
Kebenaran itu adalah surat. Surat yang ditulis Lin sesaat sebelum kematiannya. Surat yang berisi pengakuan, permintaan maaf, dan harapan. Surat yang disembunyikan oleh seseorang yang terlalu takut untuk menghadapi kenyataan.
Dengan sekuat tenaga, Lin membimbing orang itu menuju tempat surat itu disembunyikan. Bukan dengan kekuatan fisik, melainkan dengan getaran emosi, dengan dorongan dari alam bawah sadar. Dan akhirnya… orang itu menemukannya.
Di bawah remang cahaya bulan yang menembus awan kelabu, orang itu membaca surat itu. Air mata membasahi pipinya. Ia akhirnya mengerti. Ia akhirnya memahami. Kebenaran.
Lin merasakan beban berat yang selama ini menekan jiwanya perlahan terangkat. Kedamaian mulai merayap, menyelimuti dirinya. Ia tersenyum. Bukan senyum yang ceria seperti dulu, melainkan senyum yang lembut, penuh penerimaan.
Hujan mulai mereda. Langit mulai cerah. Arwah itu, di bawah sinar matahari pertama yang menembus awan, baru saja…
You Might Also Like: Drama Abiss Air Mata Yang Kumasak Jadi
Post a Comment